Pria Myanmar Diperbudak di Kapal Ikan Thailand Karena Tak Bisa Bayar Bir dan Penginapan

BABAT POST – Seorang pria Myanmar yang jatuh pingsan akibat mabuk minuman keras bersama temannya tiba-tiba menjadi budak di sebuah kapal ikan Thailand saat sadarkan diri.

Pria itu dipaksa bekerja selama lima tahun tanpa gaji setelah masuk dalam jebakan seorang broker di kota pesisir Kantang di wilayah selatan Thailand.

Dalam sebuah sidang yang digelar di provinsi Trang, Thailand itu dipaparkan bagaimana awal mula pria Myanmar tersebut menjadi budak di kapal nelayan.

Di dalam sidang, pria itu menjelaskan, empat hari setelah terbangun dari pingsannya, dia menyadari berada di kediaman seorang pria yang mengatakan dia berutang sebesar 50 dolar AS atau hampir Rp 700.000 untuk membayar bir dan penginapan.

Berita Terkait :  Obama Ajak Jokowi Menyusuri Lorong Rose Garden yang Bersejarah

Pria ini dan teman-temannya berhasil lolos dari perbudakan ini setelah dalam satu kesempatan berhasil menghubungi sebuah nomor darurat dan meminta tolong.

Para budak yang bekerja di atas kapal nelayan milik Boonlarp itu menghubungi sambungan hotline 24 jam milik Institut Issara untuk mengisahkan penderitaannya pada Mei 2015.

“Saya tak ingin mati muda, tolonglah kami!” kata pria itu kepada operator telepon Institut Issara.

Institut Issara adalah organisasi anti-penjualan manusia yang berbasis di Bangkok, merupakan kunci dari terungkapnya perbudakan di kapal nelayan yang terjadi sejak 2008 itu.

Berita Terkait :  Anggap Sebagai Ancaman, Presiden China Melarang Islam Masuk ke Negara Tersebut

Setelah menerima telepon tersebut, Institut Issara bersama beberapa institusi pemerintah Thailand melakukan pencarian di laut dan menyelamatkan para pria itu dari kapal Boonlarp itu.

Aparat keamanan Thailand menangkap sembilan orang tersangka termasuk sang broker budak dan pemilik perusahaan Boonlarp Fishing Co. Ltd.

Kesembilan orang yang didakwa melakukan penjualan manusia itu mulai disidangkan pekan lalu di Provinsi Trang, Thailand.

Papop Siamhhn, kuasa hukum para korban penjualan manusia dan kordinator proyek Yayasan Pembangunan dan HAM (HRDF) mengatakan, para terdakwa membantah semua tuduhan.

Berita Terkait :  Turki serang Suriah, Rusia geram

“Kasusini sangat penting karena sebelumya, polisi hanya mampu menangkap ‘ikan-ikan’ kecil tetapi kali ini polisi mendapatkan ‘ikan’ besar,” ujar Siamhan.

Thailand mejadi sorotan dunia internasional setelah sejumlah kasus perbudakan dan penjualan manusia terungkap menjadi bagian dari industri makanan laut negeri itu yang bernilai miliaran dolar AS.

Pemerintah Thailand belum lama ini mengamandemen undang-undang untuk memerangi penjualan manusia dan perbudakan. Undang-undang baru ini menjanjikan hukuman seumur dan hukuman mati bagi mereka yang terlibat dalam kasus semacam ini.

Related posts