Komnas HAM Belum Tahu Kasus Sengketa Lahan di Meruya Selatan

BABAT POST – Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengaku belum mengetahui persis kasus sengketa lahan di Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat, antara PT Porta Nigra dengan warga setempat. Padahal, sengketa lahan ini bukanlah kasus baru.

“Saya tidak tahu, kami belum tahu pasti (kasusnya),” kata Roichatul kepada Kompas.com di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016).

Meski begitu, kata Roichatul, Komnas HAM bisa membantu warga Meruya Selatan dalam kasus sengketa lahan tersebut. Dia menyebut Komnas HAM dapat membantu menangani masalah itu melalui dua subkomisinya.

“Komnas HAM kan untuk penanganan kasus agraria semacam itu akan ditangani oleh dua subkomisi, subkomisi pemantauan atau subkomisi migrasi, tergantung pada kasusnya, masalahnya seperti apa,” kata dia.

Berita Terkait :  PSI dan TII berkomitmen bangun politik yang transparan di Indonesia

Saat ditanya apakah warga harus melapor terlebih dahulu kepada Komnas HAM, Roichatul mengatakan penanganan kasus tidak selalu berawal dari pengaduan warga.

“Enggak juga (selalu pengaduan). Komnas HAM juga bisa proaktif. Proaktif ada juga beberapa kriteria. Kasus yang belum pernah ditangani oleh pemerintah atau pemerintah menanganinya secara tidak memadai, berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, atau bahkan kemudian menimbulkan keganjilan,” papar Roichatul.

Namun, dia belum memastikan apakah Komnas HAM akan proaktif dalam kasus sengketa lahan tersebut atau tidak. (Baca: Ahok Sindir Aktivis HAM dalam Sengketa Lahan Meruya Selatan)

Berita Terkait :  Wow, Indonesia disarankan untuk keluar dari ASEAN

“Belum tahu (akan proaktif atau tidak), karena barusan saya denger kasusnya dari Mbak. Biasanya kalau beberapa hal yang urgent atau memiliki dampak yang luas, Komnas HAM akan membantu,” tuturnya.

Sengketa lahan di Meruya Selatan bermula ketika PT Porta Nigra membeli tanah kepada seseorang bernama Juhri yang mengaku mandor sekitar tahun 1971-1972. Kemudian, Juhri menjual kembali tanah tersebut kepada pihak lain menggunakan sertifikat/girik palsu.

Juhri juga disebut menjual lahan dengan girik palsu tersebut kepada Pemprov DKI Jakarta. Lahan itulah yang kini menjadi lahan yang dimiliki warga. Pada 2007, PT Porta Nigra sudah melakukan mediasi dengan warga.

Berita Terkait :  Berikut ini Waktu dan Wilayah Indonesia yang Dapat Gerhana Bulan Total Pada 8 November 2022

Warga yang berdamai dengan PT Porta Nigra kemudian memiliki akta perdamaian atau dading. PT Porta Nigra disebut telah melepaskan lahan kepada warga yang memiliki dading tersebut. Sementara lahan yang tidak memiliki dading dipatok dan dipasang pagar kawat sejak 31 Maret 2016 lalu.

Puluhan warga kemudian mengadukan pematokan lahan tersebut kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama kemarin.

Related posts