Mengapa kasus pemerkosaan 14 pemuda terhadap Yuyun Bengkulu tak naik ke permukaan, berikut penjelasannya

Babatpost.com – Mengapa kasus pemerkosaan 14 pemuda terhadap Yuyun Bengkulu tak naik ke permukaan, berikut penjelasannya, Kasus pemerkosaan sering kali hanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan kasus pemerkosaan yang semakin meningkat di Indonesia masih diremehkan dan kalah dengan berita politik yang ada di ibu kota ataupun kasus korupsi.

nilah pertanyaan yang muncul di media sosial setelah sejumlah pengguna mengungkapkan kegelisahannya terkait kasus Yuyun, remaja yang tewas setelah diperkosa 14 pria di desa kecil di Bengkulu.

Read More

“Kita sudah mati rasa,” kicau Kartika Jahja, aktivis dan musisi independen di Twitter. “‘Oh kasus perkosaan lagi…’ Oke. Lanjut. Kadang itu lebih menyakitkan dari kejahatannya sendiri.”

Baca juga : Netizen berikan simpati untuk kasus pemerkosaan Yuyun di Bengkulu

“Banyak yang menganggap bahwa kasus pemerkosaan ‘tidak lebih penting’ daripada, misalnya, kasus korupsi,” kata pemilik akun @csi_wulan.

Memang tidak banyak media yang menulis berita tentang Yuyun. Pun, tak banyak orang membicarakannya. Menurut data Spredfast misalnya, kata kunci Yuyun di Twitter mulai naik grafiknya pada akhir pekan lalu dengan jumlah kicauan lebih dari 1.800 kali – dipicu oleh inisiatif sejumlah pengguna untuk menggunakan tagar Nyala Untuk Yuyun sebagai wujud simpati.

Padahal, laporan tentang adanya seorang siswi SMP yang ditemukan tewas tanpa busana itu muncul pada Selasa, 5 April lalu, dalam beberapa situs berita lokal Bengkulu.

Penyelidikan yang dilakukan polisi mengungkap bahwa siswi berusia 14 tahun bernama Yuyun bin Yakin itu diperkosa oleh 14 pemuda hingga tewas. Sebanyak 12 pelaku berhasil ditangkap dan terancam hukuman hingga 15 tahun penjara.

Data Komnas Perempuan pada 2013 lalu menunjukan setiap dua jam, tiga perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual.

“Para tersangka ini membunuh korban dengan cara menjatuhkan korban ke jurang dalam kondisi kedua tangan terikat setelah memperkosanya,” kata Kapolres Rejang Lebong Dirmanto.

Bagi Sophia Hage, direktur kampanye kelompok penyintas kekerasan seksual Lentera Indonesia, setidaknya ada dua hal yang membuat kasus ini luput dibicarakan.

Pertama, kasus ini terjadi jauh dari ibu kota, di sebuah desa yang jauh dari paparan media massa dan jejaring sosial. “Sangat mudah orang mengatakan kejadiannya kan bukan di sini, jadi tidak ada hubungannya dengan saya,” katanya kepada BBC Indonesia.

Faktor kedua adalah masih kuatnya stigma bahwa kekerasan seksual terjadi disebabkan karena kesalahan korban, bukan pelaku.

Sering dalam kasus perkosaan, misalnya, orang lebih berfokus pada apa yang dipakai korban saat itu. Lalu mengapa dia pulang malam atau mengapa orang tuanya tidak bisa mendidik anak perempuannya dengan baik, kata Sophia yang mendirikan Lentera Indonesia bersama Wulan Danoekoesoemo.

“(Karena itu) orang lebih menyalahkan korban dan sistem dukungan di sekitar korban, dari pada mempertanyakan tindakan kriminal pelaku.”

Victim blaming, atau kecenderungan masyarakat menyalahkan korban kekerasan seksual inilah yang membuat banyak perempuan enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya.

“Kasus Yuyun ini adalah cerminan. Ujung dari gunung es, karena lebih dari 75% kekerasan seksual tidak terlaporkan,” katanya.

Related posts