BABAT POST – Mayoritas pesawat-pesawat maskapai Indonesia ternyata lebih gemar melakukan perbaikan serta perawatan di luar negeri.
Menurut Ketua Umum Indonesia Aircraft Maintenance Services Association (IAMSA) Richard Budihadianto, persentasenya mencapai 60 sampai 70 persen.
Meski begitu, pengusaha jasa perawatan pesawat tidak berkecil hati. Bahkan justru optimis lantaran masih ada potensi menarik pesawat-pesawat itu untuk repair dan maintenance di dalam negeri.
“Karena biaya perawatan pesawat di dalam negeri lebih kompetitif dibandingkan luar negeri,” ujar Richard dalam siaran pers, Jakarta, Rabu (20/4/2016).
Sebelumnya, para pengusaha jasa perawatan pesawat masih optimis bisa bersaing di kancah regional meski pertumbuhan ekonomi belum pulih.
Menurut Richard Budihadianto optimisme itu muncul lantaran adanya berbagai kebijakan dari pemerintah.
“Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang bagi industri MRO adalah Paket Kebijakan Ekonomi ke-8 yang telah menjadikan bea masuk 21 pos tarif komponen pesawat udara nol persen,” kata dia.
Ia menjelaskan, dengan tarif bea masuk nol persen pada 21 pos komponen pesawat itu, peluang usaha perusahaan perawatan pesawat kembali terbuka.
Dikatakan Richard, Indonesia sebenarnya sudah mengenal aktivitas perawatan pesawat sejak pertengahan 1940-an atau pada masa perang kemerdekaan. Industri ini semakin mendapatkan perhatian pemerintah pada era 1970an seiring pertumbuhan industri penerbangan nasional.
“Sejalan dengan peningkatan jumlah pesawat yang beroperasi di dalam negeri, kebutuhan terhadap layanan perawatan pesawat terus meningkat,” ungkap Richard.
Sehingga bisnis industri perawatan dan perbaikan pesawat atau maintanance, repair and overhaul (MRO) di Indonesia sangatlah menjanjikan. Menteri Perindustrian Saleh Husin menghitung potensi bisnis tersebut di Indonesia saat ini mencapai 920 juta dollar AS atau Rp12,1 triliun dengan mengacu kurs dolar AS Rp13.200.
“Dalam empat tahun kedepan bisa naik menjadi 2 miliar dolar AS, setara Rp26,4 triliun,” ujar Saleh pada Konferensi Aviation Maintenance Repair and Overhaul Indonesia (AMROI) melalui siaran pers di Jakarta, Rabu.
Saleh mengatakan, sejak peraturan pemerintah mengenai industri jasa penerbangan di Indonesia mulai dilonggarkan pada tahun 2000, pertumbuhan jasa penerbangan melonjak tajam dalam satu dekade terakhir di Indonesia.
Sejumlah industri penerbangan saat ini bersaing ketat merebut pasar domestik dan regional.
Indonesia, lanjut Saleh, dengan jumlah penduduk 250 juta dan wilayah yang cukup strategis, tentu akan membutuhkan sarana transportasi udara untuk mendukung konektifitas antar pulau dan wilayah.
Wilayah Indonesia mencakup sebaran lebih dari 17.000 pulau, membentang sepanjang 5.200 km dari timur ke barat dan 2.000 km dari utara ke selatan.
“Hal ini menjadi pasar yang sangat potensial bagi para investor dunia untuk membangun industri penerbangan di Indonesia,” kata Saleh.
Selanjutnya, potensi besar untuk industri penerbangan karena menawarkan kenyamanan dan waktu yang lebih cepat serta mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memberikan multiplier effect bagi sektor lainnya. Berdasarkan laporan International Air Transport Association (IATA), jumlah penumpang udara nasional akan mencapai 270 juta penumpang pada tahun 2034 atau naik lebih dari 300 persen dibanding pada tahun 2014 dengan jumlah sebanyak 90 juta penumpang.
“Diperkirakan Indonesia akan masuk 10 besar pasar penerbangan dunia pada tahun 2020, bahkan akan menjadi lima besar dunia pada tahun 2034,” kata Menperin. Di sektor tenaga kerja, industri penerbangan global pada saat ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 58 juta orang dengan nilai ekonomi mencapai 2,4 triliun dollar AS. Diperkirakan dalam 20 tahun ke depan industri penerbangan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 105 juta orang dan menyumbang 6 triliun dollar AS terhadap PDB dunia.
Saat ini, lanjut Saleh, industri penerbangan nasional memiliki 61 maskapai penerbangan niaga didukung oleh 750 pesawat, yang beroperasi terjadwal dan tidak terjadwal. Diperkirakan jumlah pesawat akan mencapai 1.030 pesawat pada tahun 2017.