Penyelesaian Tragedi 1965 Sebaiknya Melalui KKR

BABAT POST – Mantan Dirjen Perlindungan Hak Asasi Manusia sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Hakristuti Hakrisnowo, mengutarakan usul kepada pemerintah untuk membentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan beberapa penyempurnaan dalam upaya menyelesaikan kasus Tragedi 1965.

Harkristuti khawatir apabila penyelesaian kasus dipaksakan melalui jalur yudisial maka hasilnya tidak akan memuaskan pihak-pihak yang pernah bertikai.

Dia pun menilai proses pembuktian dalam pengadilan akan sulit dilakukan mengingat Tragedi 1965 sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.

“Kalau dipaksakan jalur yudisial takutnya hasilnya sama saja karena masalah pembuktian,” ujar Harkristuti, saat menjadi panelis Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).

Lebih lanjut ia menjelaskan, pemerintah harus membuat mekanisme hukum untuk mengatur pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ia pun menyayangkan keputusan MK tahun 2007 yang membatalkan UU KKR.

Ia menampik alasan MK yang mengatakan bahwa UU KKR tidak memberikan kepastian hukum bagi korban karena adanya pasal pengampunan.

Menurut Harkristuti, KKR menjadi satu opsi yang paling mungkin dilakukan oleh pemerintah. Tujuan dari KKR tersebut untuk mengungkapkan kebenaran dan menghindari adanya perpecahan di generasi mendatang.

“Tujuan utama mencari kebenaran dan keadilan. Menegakkan kembali hukum dan HAM dan menata pranata publik yang akuntabel serta menghindari peristiwa serupa terulang kembali,” ungkapnya.

Hakristuti mengatakan, KKR yang akan dibentuk nantinya harus bertujuan untuk melakukan investigasi dan menyusun laporan mengenai pelanggaran HAM masa lalu.

Hal tersebut penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengapa peristiwa tersebut terjadi dan mencegah terulangnya peristiwa serupa dengan mengeluarkan rekomendasi khusus berupa pembaruan lembaga dan kebijakan.

“Pada umumnya, KKR merupakan badan resmi suatu negara yang menyusun rekomendasi untuk penyelesaian,” ujar Hakristuti saat menjadi panelis Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).

Dalam membentuk KKR, Hakristuti mengatakan bahwa pemerintah harus menunjukkan political will (kemauan politik) untuk mengungkap kebenaran sebagai syarat utama rekonsiliasi yang efektif dan menyeluruh.

Hakristuti juga menegaskan, KKR wajib diisi oleh orang-orang yang kredibel, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Setelah terbentuk, KKR harus mampu melibatkan pelaku dan korban saksi dalam proses rekonsiliasi, verifikasi data, dan fakta, kemudian para pihak segera melakukan rekonsiliasi supaya tidak ada dendam.

“Harus ada komitmen untuk mengungkap kebenaran,” ucap Hakristuti.

Ia pun mengingatkan bahwa penekanan proses rekonsiliasi bukan pada tanggung jawab pelaku, melainkan sebagai sarana rekonsiliasi korban dan pelaku. Pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh KKR langsung diikuti dengan rekonsiliasi.

 

Related posts