BABAT POST – Cerita menarik yang terjadi pada gagak dan senja ini sangat mengharukan jika kita simak, adanya sebuah kisah cinta mukin patut kita teladani.
Aku tidak pernah berharap bertemu cinta pertama semenyedihkan ini. Menyebalkan. Mengapa aku harus mencintainya, di saat aku tahu orang itu akan pergi?
“Tidak ada yang tahu dia akan pergi. Tunggu saja, pasti dia akan kembali.” semua orang berkata seperti itu, mencoba membuatku tenang. Aku tidak pernah menggubrisnya. Terdengar sangat omong kosong di telingaku.
Dengan wajah kusut aku hanya akan berlalu dari keramaian dan menuju tempat itu.
“Tapi aku tahu. Aku selalu tahu, orang itu akan pergi. Dia selalu ingin pergi.” ucapku dengan suara lirih, sambil berlalu.
Langit senja yang memerah menemaniku duduk sendiri di atas tembok setengah retak ini. Biasanya ada orang itu di sampingku. Ia yang selalu duluan datang ke tembok ini dan duduk mematung menatap rumah tua di seberang tembok ini.
Tembok yang tingginya tak sampai satu meter ini adalah pembatas belakang sekolah kami. Tepat di seberang tembok yang setengah bagiannya telah retak ini sebuah rumah tua tak terurus berdiri menyepi. Hanya dikelilingi ilalang-ilalang raksasa yang tak pernah dipangkas bertahun-tahun.
Ada sebuah rumor aneh tentang rumah tua itu. Seorang penyihir tinggal di sana. Sudah menjadi kepercayaan bersama bahwa seorang penyihir tinggal di tempat kami. Pulau Rojo, pulau kecil di ujung semenanjung Balkan. Aku tak pernah tahu asal muasal kisah si penyihir. Katanya itu dongeng dari para leluhur penduduk pulau. Entahlah.
Namun, semakin hari semua orang hanya menganggap rumor itu sebagai angin lalu. Tak pernah ada apapun di rumah tua itu, tuan sherrif pernah mengeceknya.
Tapi fakta rumah tua itu tak juga dirobohkan masih misteri. Seakan sudah menjadi kesepakatan bersama rumah itu harus tetap disana. Begitu saja, dibiarkan menua sendiri dan tak terawat.
Hanya ada satu orang yang masih peduli pada rumah tua itu. Deridaa, gadis dengan rambut kuncir ekor kuda yang seharusnya tengah duduk di sampingku saat ini.
Aku selalu mengingatnya, wajah mungilnya akan berubah galak, dan makian keluar dengan lancar dari bibirnya kala berdebat soal keberadaan si penyihir di rumah tua itu.
“Kalau ini bukan rumahnya, dimana lagi aku harus cari si penyihir?!” jawabnya dengan bersungut, di senja yang entah kapan, aku lupa. Saat kutanya mengapa ia ngotot mempercayai rumor itu.
Tapi aku tak pernah bertanya mengapa ia harus mencari si penyihir. Aku takut, aku tahu apa jawabannya.
“Nenekku bilang penyihir punya sapu terbang yang bisa kupakai untuk pergi jauh.” Lanjutnya tanpa kutanya.