Seorang pria membawa pisau memasuki rumah seorang janda lansia di malam hari. Pria itu mencuri perhiasan dan tas berisi uang, sayangnya dia terluka karena kakinya tertembak.
Bagaimana seharusnya pria ini dihukum? Apakah pandangan Anda akan berbah ketika mengetahui bahwa pria ini memiliki seorang anak penderita leukimia dan melakukan perbuatan tersebut untuk membayar biaya medis sang anak di rumah sakit.
Penelitian terbar dari Universitas Harvard dan Vanderbilt menunjukkan bahwa otak manusia memiliki dua wilayah berbeda dalam menilai rasa bersalah dan hukuman untuk seseorang. Meskipun kedua wilayah ini terhubung, para ilmuwan menemukan bahwa respon keduanya bisa seketika berbeda dan berubah.
Dilansir dari IFL Science, Kamis (15/10), fokus penelitian adalah wilayah otak yang disebut korteks prefrontal dorsolateral yang terkait dengan penilaian dan norma. Wilayah otak ini terlibat dalam integrasi informasi dari wilayah lainnya di otak.
Fungsi dasarnya adalah menilai perilaku lebih kompleks, termasuk mengambil keputusan. Untuk mengetahui lebih lanjut, para peneliti melibatkan 66 responden pria dan wanita. Mereka disajikan serangkaian agenda kejahatan, umumnya pencurian dan pembunuhan.
Kemungkinan tersangka utama melakukan kejahatan itu dikarenakan skenario berbeda. Beberapa di antaranya memiliki alasan yang tentu saja membuat hati kecil responden terbawa perasaan.
Responden diminta memutuskan apakah si terdakwa bersalah atau tidak, lalu bagaimana mereka mempertanggungjawabkan kejahatan. Pada saat yang sama, aktivitas wilayah korteks prefrontal dorsolateral di otak responden terus dipantau.
Hasilnya? Wilayah otak tersebut kebanyakan berdengung dan kacau. Teknik ini terjadi berulang dan disebut transkranial stimulasi magnetik (RTM) yang membuat otak sendiri bimbang memilah keputusan.
Akhirnya, otak responden masih bisa menerima kejahatan yang terbilang ringan untuk dimaafkan. Menurut peneliti, hal ini menunjukkan adanya pemisahan saraf antara penilaian kesalahan si pelaku dengan keputusan hukuman untuk mereka. Menentukan hukuman yang tepat membutuhkan keseimbangan antara informasi mengenai bahaya kejahatan dengan kesalahan.
Peneliti utama, Rene Marois mengatakan fakta ini menarik. Tidak semua kejahatan dipandang otak sebagai kejahatan. “Seseorang bisa saja menilai orang itu melakukan kejahatan dengan sengaja, ceroboh, dan mudah dilupakan,” kata Marois.